Ayah dan Sekuncup Surat Untuk Penguasa.
(sepenggal ocehan)
Tepat
dihadapan mataku hamparan laut yang begitu luas, seakan mataku tak mampu
menjangkau setiap sudut indah yang terhampar di laut itu, kekayaan yang begitu
megah itu telah dimiliki mereka para penguasa, penjilat yang berada di Negara
hari ini, Indonesia. hidup di pesisir pantai tempat dimana aku dibesarkan,
ditengah-tengah masyarakat yang pekerjaannya mayoritas pelaut miskin,
menjadikan diriku seorang anak yang sudah terbiasa dengan makanan dan
kehidudapan yang sederhana dan terbelakang. Ayahku adalah salah satu dari
mereka si pelaut miskin yang tetap teguh dan tanpa penyesalan melakukan
pekerjaan yang sedikit menantang kedamaian jiwanya. dimana dia harus bertarung
dengan rasa takut karna diperhadapkan dengan kondisi dan cuaca ditengah lautan yang
terkadang menjadi musuh besar untuk dapat mengakhiri hidupnya. Dan juga lautan
itu dimana tepat dia menghabiskan banyak sekali waktunya, membuatnya bertemu
seorang sahabat sejati dalam hidupnya, lautan. Hal itulah yang menjadikan
dirinya seorang laki-laki yang tangguh dan sedikit keras dalam menerapkan
peraturan didalam rumahnya, namun kasih sayangnya kepada sang istri yang sangat
ia hormati, ia mampu dikaruniai tiga orang anak perempuan yang cantik dan
satu orang anak laki-laki bungsunya.
Aku
adalah anak dari laki-laki tangguh itu, yang sedikit penyesalan sering tergambarkan
dibalik senyuman tumpulku, senyumanku memperlihatkan bagaimana penyesalanku,
dikarnakan aku bukan terlahir oleh seorang ibu yang memiliki banyak uang untuk
memenuhi kebutuhan masuk akal dimasa kecilku, dan terlebih lagi, aku hanya
memiliki seorang ayah yang tak dapat aku banggakan karna pekerjaan yang ia
tekuni bukanlah hal yang menjadi idaman semua orang. Kehidupan keluargaku yang
memiliki perekonomian dibawah garis kemiskinan, sering kali membuatku kesusahan
untuk memenuhi kebutuhan di sekolah, dan hal itu sedikit membuat diriku malu
untuk menimbah ilmu disekolah bersama anak-anak lain, walaupun laki-laki
tangguh itu juga sama- sekali tak sepakat dengan keputusan ibuku untuk
mewajibkanku bersekolah.
“ibu...”
suara sedikit canggung menyapa...
"iya
nak, ada apa...???” jawab ibuku dengan begitu ramahnya,...
Disiang
itu pada suatu hari, aku hendak membicarakan tentang bagaimana masa depanku
kepada sang ibu yang sedang istirahat di ruang tamu rumahku, tentang bagaimana
tanggapan mereka ketika nanti aku telah menyelesaikan studi
(sekolah menengah atas) nanti, namun bibir ini rasanya tak sanggup memulai
untuk mengucapkan butiran harapan dan impian semesta, dikarnakan ketakutanku
pada sang ayah, yang selama ini tidak meng-iyakan keinginanku untuk bersekolah,
apalagi untuk menimbah ilmu di perguruan tinggi di kampus yang aku
idam-idamkan. Rasanya begitu mustahil untukku meraih rembulan itu. Hal ini
bukan karna tanpa alasan, kenapa dan mengapa ia melarangku sebagai anak
laki-laki bungsunya untuk tidak bersekolah.
“hheemmm...
tidak kenapa-kenapa bu’ ” ucapku diawali sedikit hembusan nafas kencang...
“oowww,
kalau ada yang hendak kau sampaikan, ibu siap mendengarkan” ibu menjawab dengan
sedikit curiga, seakan dia tau apa yang ada dibenakku saat ini.
“Ayahku”
Sejak ia kecil dia adalah seorang anak yang lahir dari keluarga miskin
dan tanpa latar belakang pendidikan, yang artinya ia adalah seorang anak yang
tidak pernah merasakan bangku idaman semua anak 'ibu Pertiwi', sekolah. Dan
selama kehidupannya, dari ia kecil sampai hari ini, dia hanya memiliki satu hal
yang berharga, yaitu pekerjaan sebagai seorang pemancing ikan, walaupun hal itu
tidak seberapa pendapatannya. Pendapatannya yang kecil, membuatnya kesusahan
untuk menjadi seorang ayah yang baik, uang yang ia dapatkan dari hasil
kerjanya, hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga tercintanya. Alasan
inilah yang sering ia lontarkan disela-sela pembicaraan kami ketika membahas
masa-masa indah ketika aku disekolah. Mungkin juga ada sedikit kecemburuan yang
timbul didalam lubuk hatinya yang tak dapat ia penjarakan ketika anaknya
membahas hal yang ia tak pernah rasakan.
"Ibuku"
juga kurang lebih sama dengan ayahku, yang juga lahir dan di besarkan oleh
keluarga miskin. Sekolahnya pun hanya sampai tamat Sekolah Dasar(SD) saja.
semenjak ia berumur 12 tahun, ia harus berjuang membantu ibunya dengan cara
berjualan kue. Sebagai seorang ibu, dia adalah seseorang yang baik hati, tutur
bahasanya dan selalu ramah kepada anak-anaknya, menerima dan selalu berkomentar
dengan tutur yang bijak, disaat-saat tertentu, aku seakan-akan tak dapat
membedakan dimana posisi dia sebenarnya, sebagai seorang ibu atau kah teman
sebayaku disaat kami berbicara denganya. Sungguh kawan yang baik. Karna
sikapnya yang lembutlah dan selalu ramah kepada anak-anaknya, membuaatku ingin
selalu berada disampingnya. Dia adalah orang yang selama ini selalu memberikan
motivasi kepadaku untuk terus bersekolah. Alasanku kenapa sampai hari ini tetap
bisa bersekolah,itu karna sosok seorang ibu ini, walaupun sebenarnya uang
yang aku dapatkan untuk bersekolah hari ini adalah dari laki-laki tangguh itu.
Kembali
membahas laki-laki tangguh itu, alasannya tentu tidak sesederhana itu, dan
memang alasannya bukan Cuma karna merasa cemburu kepada anaknya yang merasakan
bangku sekolah yang ia idam-idamkan juga, mungkin saja. Tapi setelahku
lihat-lihat kembali dan mencoba menyelami kehidupannya lebih dalam tentang
seorang ayah yang kutahu keras kepala itu, ternyata alasannya adalah susahnya
mendapatkan uang untuk makan sehari-hari keluarganya, untuk makan saja
pas-passan apalagi untuk menyekolahkan anak-anaknya,sudah tentu membuatnya
kelabakan. Kerja yang sangat menguras tenaga dan selalu berhadapan dengan cuaca
buruk yang mungkin bisa membahayakan keselamatannya, yang membuatnya harus
berfikir berulang-ulang kali untuk memberikan harapan agar bisa menyekolahkanku
setinggi-tingginya. Pekerjaan yang sama sekali tak memiliki asuransi jiwa
untuknya, mungkin dia juga tidak paham apa itu asuransi jiwa, membuatnya
merasakan kehidupan yang keras dan tak dapat hidup dengan rasa nyaman layaknya
orang lain (para penguasa). Bahkan dia mungkin tak akan merasakan istirahat
yang nyaman diwaktu tuanya, karna pekerjaannya yang tak memiliki tunjangan
dihari tua, sebab pekerjaannya yang tak digaji oleh negara, bukan urusan
negara.
Alasanku
mengatakan ayahku sebagai seorang yang tangguh bukanlah karna alasan
sepele, pekerjaan yang telah ia tekuni mungkin selama hidupnya, hanya cukup
memenuhi kehidupan keluarganya walaupun hanya bisa merasakan makannan sederhana
disetiap harinya, menyedihkan, tentu saja. Pekerjaan yang begitu keras ia
tekuni, membuat tubuhnya begitu kekar dan tangannya berurat-urat layaknya aktor
bolliwood “Sylvester Stalllone” sepertinya.
***
“Tok
tok tok” suara berisik di depan pintu rumah tempat tinggalku...
“Om
ipin, sudah waktunya turun ke laut” suara keras yang keluar dari mulut besar
seorang pemancing, teman ayahku...
Yyaa,
seperti inilah situasi ketika tengah malam baru saja berlalu, hampir disetiap
malamku. Karna jarak yang ditempuh oleh ayahku sampai ketempat berlabu ditengah
laut (rompong) tempat ia memancing cukup jauh, memakan waktu sekitar tiga
sampai empat jam menggunakan kapalnya, inilah yang menjadi alasan kenapa mereka
berangkat sedini mungkin, padahal mereka baru saja tidur, bagiku.
Tibalah waktu sang-ayah akan bertarung
dengan lautan ganas, berjuang untuk mendapatkan ikan-ikan kecil untuk dijual ke
pasar, dan juga untuk makanan sehari-hari keluarganya. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana ia selama hampir 13 belas jam berada di laut, terik matahari seperti membakar kulit ayahku. Dia juga di ombang-ambingkan oleh
arus air laut yang kencang, bahkan sering dia dihantam badai yang begitu
dahsyat.
Ketika
dia telah berhasil melewati hal itu dan mendapatkan sedikit rejeki, walaupun
itu tidak sepadan dengan usaha yang ia cucurkan. Tibalah waktunya dia untuk dia
menepi di daratan, pulang kerumahnya dan menemui keluarganya. Ketika dia sampai
di daratan, sebagian hasil pancingannya harus ia jual, agar dia mendapatkan
beberapa uang untuk keperluan kelaurganya.
Miris
melihat ketika ada beberapa orang dari pembeli ikan(padola) yang akan membeli
hasil pancingan ayahku, malah masih
melakukan penawaran terhadap harga yang ia kenakan, padahal menurutku harga itu
tidak sepadan dengan apa yang ayahku harus kerjakan. Dari hasil jualannya itu,
ayahku harus berusaha memutar kembali uang yang ia dapatkan, agar ia dapat
memenuhi kebutuhan dan perlengkapannya, untuk kembali melakukan pekerjaan yang
sama berulang kali, payah.
Perjuangan
ayahku ini bukan hanya ia sendiri yang merasakan, namun hampir semua masyarakat yang berada di desa juga di desa
tetangga, hampir semua melakukan dan
mengerjakan hal yang sama, menjadi seorang nelayan. Namun hal ini bukan menjadi
ke-ingin mereka dan juga sama sekali bukan impian mereka, tentu saja. Hal ini
karna negara tidak mampu memberikan bantuan kepada rakyat jelata seperti kami apalagi memberikan pekerjaan
yang layak dan juga pendapatan yang layak pula. Setidaknya bisa untuk membantu
ayahku dalam memudahkan dan menurunkan harga bahan bakar minyak kepada para
nelayan, jaminan hari tua atau apalah namanya, untuk semua rakyatnya yang berdiri
sebagai warga negara. Bukankah sejatinya negara telah berjanji untuk melayani
semua kebutuhan warga negara...??? ataukah mungkin itu hanya bualan
semata...??? yyaa, mungkin saja. Memangnya tau
apa ayahku tentang kewajiban negara hari ini untuk rakyat seperti dia? Mungkin saja
apa yang dipikirkan oleh ayahku selama ini adalah, hidup itu bukan pilihan,
ayahku terlahir dari keluarga miskin dan dia harus bekerja keras untuk bertahan
hidup dan beranak-pinak saja. Dan dia juga mungkin hanya bisa pasrah, karna mungkin
telah melekat didalam benaknya bahwa apa yang telah terjadi hari ini adalah
takdir dari Sang-Halik (Tuhan), mungkin saja. Namun yang ku-ketahui dan tidak
di ketahui oleh ayahku, bahwa Negara hari telah menerapkan sistem ekonomi yang
keliru untuk di terapkan. Sistem ekonomi yang mereka jalankan yang aku tahu
adalah hanya memberikan keuntungan besar pagi para orang yang memiliki modal
besar pula dan memberikan kemakmuran untuk para penjilat yang duduk dibangku-bangku nyaman, bukan untuk kami
rakyat jelata. Setelah Indonesia telah lepas dari genggaman Feodalisme yang
menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak yang tidak merdeka, sekarang kami
harus merasakan dampak dari sistem kapitalisme dan menjadi budak yang merdeka bekerja
untuk para penguasa, entah apa bedanya. Namun ada satu hal yang aku pahami,
bahwa ayahku dan rakyat jelata belumlah merdeka Seutuhnya...!!! dan mungkin
saja tidak akan ada masa depan yang indah untuk anak-anak seperti kami,
anak-anak dari nelayan miskin. Karna biaya pendidikan yang tidak mampu ayahku
penuhi agar dapat menyekolahkan semua anak-anaknya. Lalu apa yang akan terjadi
dengan impian indahku nantinya...??? impianku tentang ingin melanjutkan study
keperguruan tinggi, mungkin itu tidak akan terwujud nanti, mungkin saja.
Suatu
hari nanti, aku, sang anak dari laki-laki yang sudah semakin tua itu, ingin
menggukir butiran kata-kata dalam secarik kertas putih, yang didalamnya
bertuliskan tentang jeritan dan perjuangan ayahku dan rakyat jelata yang sampai
hari ini sama sekali tidak merdeka kehidupannya dan hidup dengan nyaman. Ya,
itulah yang aku tau...!!!
Sepintas, surat itu berisakan tentang keritikkan untuk Negeraku...
"Negeriku
adalah tempat yang merdeka dan kaya alamnya, kaya para penguasanya namun miskin
rakyatnya. Negeriku yang memiliki banyak penjilat disana sini. Negeri yang
menghisap seluruh tenaga rakyat jelata dan juga menelantarkan seorang ayah
rentan yang mulai menua, ayahku. Rasanya, begitu jauh tempat kami tinggal, amat
jauh dengan penguasa, seakan mereka tidak mampu melihat betapa menyedihkan pekerjaan
seorang ayah itu, seakan mereka tidak mampu mendengarkan jeritan seorang ayah
yang bertarung dengan lautan. Mereka juga tidak dapat membantu meringankan
beban yang melakat dipundak seorang ayah, beban yang berat untuk untuk
menghidupi dan menyekolahkan anak-anak tercintanya. Bahkan negara seperti
menambah beban dipundak sang ayah, seorang rakyat jelata. Subsidi bahan bakar
minyak yang selalu saja meningkat harganya, kebutuhan pangan yang semakin susah
didapatkannya, mahal harganya pula. Sepertinya membuat jarak yang begitu jauh
ditempuh untuk bisa kita dikatakan bahwa negara mampu mengayomi dan menjawab
semua kebutuhan anak-anak dari seorang nelayan yang aku kenal itu, ayahku.
Terimakasih
ayah, aku sadar betapa hebatnya dirimu dalam perjuanganmu menghidupi kami,
keluargamu. Sampai hari ini aku masih saja melihatmu seperti hari itu. Sama
saja yang engkau kerjakan.
“Ayah, pinjami aku hatimu. Agar
aku belajar bagaimana engkau menghadapi semua masalah tanpa mengeluh
sedikitpun”